Agustus 17, 2009

Merebut Kembali Kemerdekaan Indonesia















Oleh Nana Jiwayana

Tiap kali menjelang detik-detik perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia, pertanyaan skeptis akan arti kemerdekaan negara kita sering melayang dari banyak kalangan. Benarkah negeri kita sudah merdeka dan terbebas dari jerat penjajahan? Pertanyaan itu muncul tidak hanya dari kaum akademisi melalui pemikiran mereka, namun yang lebih banyak bertanya adalah rakyat kecil yang memang belum merasakan arti kemerdekaan negeri ini yang sesungguhnya. Idealnya, usia kemerdekaan yang cukup panjang dari negeri ini berjalan selaras dengan kesejahteraan rakyatnya. Namun, kenyataan mengatakan sebaliknya. Kemerdekaan negeri ini nyatanya belum (baca: tidak) membawa rakyatnya untuk sejahtera. Kalau benar ada yang telah merasakan manisnya kemerdekaan itu, kita tahu jumlah mereka tidak seberapa dan itu pun terbatas pada orang-orang yang dekat dengan kekuasaan saja. Untuk rakyat, kemerdekaan itu hingga kini masih terasa semu.

Secara hakiki, pascaproklamasi kemerdekaan negeri kita, Indonesia belum menggapai kemerdekaan yang sebenarnya. Belum lagi, proklamasi ini juga masih menyisakan pertanyaan, apakah sudah sempurna menjadi hasil perjuangan bangsa atau hanya sebatas pemberian semata. Belum lagi masih banyak elemen asing yang menguasai sektor-sektor penting negara kita saat itu yang menunjukkan bahwa penjajahan di negeri kita masih terjadi.

Sikap skeptis yang mempertanyakan arti kemerdekaan kita meruncing, terlebih saat ini, ketika kita melihat Indonesia dari kacamata global. Di era globalisasi ini, ketika teritorial negara semakin semu, kedaulatan Indonesia malah semakin tergerus. Munculnya kekuatan baru yang menguasai dunia dalam bentuk Multinational Corporate (MNC) dan Transnational Corporate (TNC) semakin menipiskan arti kemerdekaan kita. Hampir di seluruh wilayah Indonesia, baik MNC maupun TNC telah memiliki kaveling sendiri. Teritorial yang dikuasai MNC dan TNC ini pun bukanlah teritorial yang miskin sumber daya alam, namun lahan yang kaya akan sumber daya alam. Sialnya, sumber daya alam yang mereka kuasai tidak sedikit pun membawa kebaikan bagi bangsa Indonesia.

Ketika sumber daya alam kita sudah banyak dikuasai asing, bisa ditebak rakyat Indonesia hanya bisa menggigit jari. Buruknya lagi, pejabat negara kita malah hobi menjual aset-aset berharga tersebut. Melalui program penanaman modal, pejabat negara kita mengundang tangan-tangan rakus kapitalis yang jelas-jelas tidak berpihak kepada rakyat. Fokus kaum kapitalis adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Kalaupun ada pihak yang diperhatikan mereka, pihak itu tak lain adalah kapitalis lain sebagai lawannya. Globalisasi adalah pertarungan kaum kapitalis. Kelas lain tidak lagi dihiraukan terlebih rakyat kecil, di mata mereka, kita tidak ada artinya.

Perlindungan aset negeri yang seharusnya dilakukan pemerintah kita sering kali kandas disebabkan banyaknya pejabat yang menjadi kaki tangan asing. Bukannya mengelola kekayaan negeri ini secara bijaksana dengan tangan sendiri, kita malah memberikan hak pengelolaannya kepada kekuatan asing. Hadirnya MNC/TNC bukannya menyejahterakan rakyat, namun menambah tajam kesenjangan antara kaum pemodal dan rakyat kecil.

Dilihat dari banyak aspek kehidupan kita, sekali lagi wajar bila kemerdekaan kita kembali dipertanyakan. Di bidang ekonomi, politik, dan hukum, negeri kita jelas masih terjajah. Sumber daya alam banyak dikuasai asing, kebijakan politik kita masih dikendalikan asing, ditambah banyak produk hukum kita yang merupakan peninggalan pihak asing. Dari sisi budaya pun kita masih terjajah. Gempuran budaya pop yang dibawa globalisasi ke negeri kita telah merusak mental generasi muda kita hingga pada batas yang mengkhawatirkan. Seks bebas, penggunaan narkoba, hedonisme, dan budaya konsumtif mulai menguasai generasi muda. Hasilnya, banyak terjadi kasus aborsi, kematian remaja karena over dosis, dan munculnya generasi yang cuek terhadap masyarakat sekitarnya.

Melihat kenyataan ini, rasanya tak salah bila kita harus merebut kembali kemerdekaan kita. Kemerdekaan yang sebenarnya, kedaulatan sepenuhnya ada di tangan kita dan bukannya kedaulatan yang diberikan oleh kekuatan asing. Pengorbanan para pejuang di masa penjajahan fisik dahulu selayaknya dijadikan cerminan untuk melangkah meraih hal yang sama pada penjajahan politik saat ini. Para elite politik yang kini memegang kekuasaan harus kembali kepada nilai dasar mereka sebagai wakil dari rakyat Indonesia, bukan sebagai kaki tangan asing. Pemimpin negeri ini jangan hanya bisa manggut-manggut dengan permintaan asing, namun juga harus berani mengatakan tidak bila kehendak yang mereka inginkan jelas-jelas tidak berpihak kepada rakyat.

Di sisi lain, masyarakat harus mulai disadarkan akan alienasi mereka terhadap kebangsaan Indonesia. Gempuran budaya pop yang datang dari luar sudah seharusnya bisa disaring dengan nilai-nilai luhur budaya kita. Boleh saja berkompromi dengan budaya pop asing, namun tetap harus dibatasi dengan nilai-nilai luhur budaya kita. Bila pada kenyataannya tidak bertentangan dengan budaya kita maka budaya asing itu boleh kita ambil. Namun, bila jelas-jelas bertentangan dengan budaya kita maka kita pun jangan ragu meninggalkannya. Pada akhirnya, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki keadaan kita. Semoga kedaulatan yang sebenarnya bisa kita raih bersama. ***

Penulis, Koordinator Lingkar Studi Partere Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=92493

Label: , ,

| More